Memahami perilaku konsumen saat membeli barang bisa bikin marketing campaign dan conversion rate #HaloKawan lebih sukses! Dengan mengantisipasi kebutuhan dan keinginan konsumen, brand bisa membuat strategi sales atau marketing yang menjawab kebutuhan para konsumen.

Kalau biasanya MinKa bahas dari sisi bisnis seperti memaksimalkan tiap tahapan customer journey serta memahami marketing funnel, di artikel kali ini kita akan membahas dari sisi konsumen, atau Consumer Decision Process.

Consumer Decision Process atau Buyer Decision Process adalah 5 tahapan proses yang dilewati seorang konsumen saat mereka ingin memutuskan untuk membeli barang atau tidak. Proses ini dimulai dari menyadari kebutuhan sebuah produk, melakukan riset, mempertimbangkan alternatif, membeli produk, hingga merefleksikan pengalaman bersama brand.

Apa saja sih stimulus, yang dipikirkan, serta yang dilakukan konsumen saat mereka ingin membeli barang? Yuk simak selengkapnya di bawah ini!

Baca Juga: Customer Journey, Kunci Meningkatkan Customer Experience!

5 Tahapan Consumer Decision Process

5 Tahapan Consumer Decision Process
Sumber: Freepik

1. Konsumen sadar membutuhkan produk/layanan tertentu

Pada tahap pertama, konsumen menyadari bahwa ia membutuhkan sebuah produk/layanan yang memberikan solusi terhadap masalah. Kesadaran ini bisa disebabkan oleh stimulus internal atau eksternal.

Stimulus internal misalnya seperti rasa lapar/haus, rasa frustasi produk lain tidak bisa menyelesaikan masalah, dan sebagainya. Karena datangnya dari dalam diri, brand tidak bisa mengusahakan stimulus internal.

Tapi, brand dapat mendorong kesadaran konsumen melalui stimulus eksternal dengan marketing campaign. Campaign brand yang bertujuan untuk meningkatkan brand awareness berfungsi agar audiens dapat recall produk brand #HaloKawan saat mereka membutuhkannya. Oleh karena itu, brand harus membuat konten yang dapat diingat dan memberikan kesan terpercaya kepada target audiens.

💡
Contoh: Ani ingin memiliki hidup sehat, sehingga ia memutuskan untuk lebih banyak berolahraga. Banyak teman dekatnya yang berolahraga memakai smart watch untuk melacak olahraga mereka. Ia pun memutuskan ingin membeli produk smart watch dari brand yang sama dengan teman dekatnya.

2. Konsumen melakukan riset produk

Setelah menyadari membutuhkan sebuah produk untuk menyelesaikan masalah, tentunya konsumen akan mencari informasi tentang kemungkinan solusinya. “Riset” di sini terdiri atas berbagai macam aktivitas mengumpulkan informasi, namun biasanya konsumen paling mengandalkan pengalaman para customer sebelumnya.

Oleh karena itu, brand perlu bersiap untuk berinteraksi dengan para calon customer yang mencari informasi tentang produk. Unggah konten testimoni, demo produk, serta repost review customer lainnya agar calon customer bisa dengan mudah mendapatkan informasi.

💡
Contoh: Ani melakukan riset terhadap produk smart watch yang dipakai temannya dengan cara menanyakan opini mereka, apa yang mereka suka, fitur yang ada, dan sebagainya. Selain itu, Ani juga berkunjung media sosial dan situs resmi brand yang menjual smart watch. Tak lupa juga ia membaca testimoni dari pengguna smart watch lainnya dari brand ini.

3. Konsumen mempertimbangkan alternatif produk

Setelah calon customer menemukan produk atau layanan yang memenuhi kebutuhannya, mereka akan membandingkannya dengan penawaran lainnya yang mirip dari brand yang berbeda.

Riset awal sebelumnya biasanya jadi baseline kriteria yang mereka inginkan. Sambil mencari alternatif yang lain, konsumen biasanya mencari poin yang membedakan produk riset awal dengan alternatifnya seperti:

  • Harga
  • Kualitas
  • Fitur
  • Kemampuan barang untuk di-custom
  • Brand awareness
  • Tren industri
  • Ketersediaan barang

Pastikan produk #HaloKawan dapat bersaing dengan brand lainnya dengan kualitas dan harga yang kompetitif. Selain itu, ketersediaan barang jadi poin penting apabila seorang customer berusaha menyelesaikan masalah yang mereka hadapi secepat mungkin, sehingga pastikan barangmu masih ada!

💡
Contoh: Saat melakukan riset, ternyata Ani menemukan 3 produk smartwatch alternatif lainnya dari brand yang berbeda. Ketiganya memiliki kualitas dan harga yang mirip. Meskipun begitu, 2 brand tidak memiliki smart watch dengan warna yang diinginkan Ani.

4. Konsumen memutuskan membeli produk/layanan

Tahap keempat adalah customer membeli produk setelah riset dan perbandingan produk yang mereka lakukan. Biasanya pembelian produk dilakukan melalui e-commerce, situs resmi, atau beli langsung di toko fisik.

Faktor terbesar konsumen dalam membeli produk adalah attitude dan faktor situasional tidak terduga lainnya. Attitude maksudnya adalah persepsi calon konsumen setelah terpengaruh dengan opini konsumen lain (word-of-mouth) terhadap produk.

Kalau testimoni terhadap sebuah produk dari orang terdekat kita bagus, biasanya kita akan cenderung membeli produk dari brand tersebut.

Faktor tak terduga yang memengaruhi keputusan pembelian misalnya harga naik, ada alternatif lain yang lebih baik, dan sebagainya.

💡
Contoh: Setelah menimbang lagi, Ani memilih untuk membeli smart watch yang persis sama dengan teman-temannya. Ia pun melakukan check-out di e-commerce.

5. Konsumen merefleksikan pengalaman pembeliannya

Setelah customer menerima dan memakai produk yang mereka beli, mereka menjadi reviewer yang mengevaluasi performa produk serta brand yang mereka ajak interaksi.

Konsumen akan menanyakan pertanyaan berikut ini kepada diri mereka sendiri ketika mengevaluasi produk dan brand:

  • Apakah produk menjawab serta memuaskan kebutuhan dan keinginan?
  • Apakah saya senang terhadap produk dan layanan yang telah dibeli?
  • Apa yang ingin saya tingkatkan dari produk ini?
  • Bagaimana impression saya terhadap brand yang memberikan produk/layanan ini?

Jika konsumen merasa puas dengan produk dan menerima experience yang baik dengan brand, mereka bisa engage dengan brand lebih lagi. Misalnya, meninggalkan review di media sosial, atau merekomendasikan produk kepada sesama, serta melakukan repeat purchase.

Sangat penting bagi brand untuk memastikan kepuasan customer dari segi produk dan interaksi bersama brand karena hal ini membangun kepercayaan dan loyal customer base untuk brand.

💡
Contoh: Sampai 3 bulan kemudian, Ani masih memakai smart watch yang ia beli setiap harinya. Ia merasa puas dengan produk tersebut karena dapat melacak olahraga dan kebiasaan fitness nya dengan baik. Brand ini juga memiliki aplikasi yang dapat menangani customer service dengan cepat sehingga Ani memutuskan untuk membeli peralatan fitness lainnya dari brand yang sama.

Baca Juga: 5 Tips Customer Journey Mapping agar Brand Paham Kebutuhan Konsumen!

Jenis-Jenis Consumer Decision Process

Dalam melakukan consumer decision process, masing-masing buyer juga punya kecenderungan perilaku masing-masing tergantung produknya.

1. Complex Buying Behavior

Buyer yang banyak terlibat dalam Consumer Decision Process, karena produk yang ia beli lumayan berisiko. Misalnya, membeli mobil atau membeli rumah. Biasanya pilihan yang ditawarkan pasar juga sangat berbeda dan variatif.

Oleh karena itu, complex buyer akan melakukan riset dan membandingkan produk secara intensif agar tidak membuat kesalahan saat di tahap purchasing.

2. Dissonance-Reducing Buying Behavior

Perilaku buying ini ditandai dengan keterlibatan yang tinggi dengan perbedaan produk di pasar yang rendah. Karena tidak banyak perbedaan fitur produk, calon konsumen tidak begitu peduli dengan brand-nya.

Tapi setelah membeli produk, konsumen bisa merasakan dissonance, atau fenomena di mana produk yang dibeli tidak memenuhi ekspektasi konsumen karena mendengar benefit dari produk lainnya.

Untuk menghindari dissonance ini, brand perlu menyediakan layanan post-purchase atau setelah pembelian untuk meyakinkan bahwa konsumen telah memilih produk dan brand yang benar.

3. Habitual Buying Behavior

Habitual Buying behavior memiliki keterlibatan rendah saat Consumer Decision Process, serta produk yang ia beli juga tidak memiliki perbedaan yang besar antarbrand.

Konsumen tidak melakukan riset atau evaluasi yang banyak tentang produk. Biasanya mereka sudah mengetahui produknya dan tidak terlalu peduli tentang keputusan pembelian karena pola perilaku sudah terbentuk secara passive learning.

Misalnya, ketika #HaloKawan membeli pasta gigi. Biasanya kita akan membeli pasta gigi yang pernah dibeli sebelumnya karena terbiasa. Namun, hal ini tidak sama dengan brand loyalty.

4. Variety-Seeking Buying Behavior

Variety-Seeking Buyer biasanya tidak terlalu terlibat dalam consumer decision process meskipun banyak pilihan produk dengan fitur yang sangat berbeda-beda. Mereka sering mengganti brand produk untuk mencoba hal baru.

Purchase yang dilakukan biasanya memiliki risiko rendah seperti produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Misalnya es krim, sabun cuci piring, minuman kaleng, dan sebagainya.

Baca Juga: Ubah Stranger Jadi Loyal Customer dengan 4 Tahapan Marketing Funnel

Kesimpulan

Consumer decision process adalah proses yang merangkum perilaku konsumen sebelum membeli sampai sesudah membeli barang. Brand yang memahami proses ini dapat mengerti customer journey sehingga bisa membentuk strategi marketing yang efektif untuk mempertahankan customer.

Bila artikel ini bermanfaat, jangan segan bagikan kepada sesamamu ya! Ikuti terus HalokaTalks agar tidak ketinggalan informasi terkini soal brand news, marketing tips, dan social media update!


Penulis: Gracia Yolanda Putri

Penyunting: Deborah Patricia

Sumber: